Kota Madiun – Portalnews Madiun Raya

Sebagai Bapaknya warga Kota Madiun, Wali Kota Maidi meminjamkan mobil dan rumah dinasnya untuk momen pernikahan bagi warganya.

Hal itu disampaikan oleh Wali Kota beberapa waktu yang lalu dan diunggah melalui akun instagramnya @PakMaidi.

“Menikah adalah momen yang membahagiakan. Sebagai bapaknya warga Kota Madiun, saya ingin melengkapi kebahagiaan itu. Untuk itu, saya pinjamkan dua mobil sedan di rumah dinas bagi siapa saja yang ingin menggunakannya di momen pernikahan. Terutama, bagi anak yatim piatu dan kurang mampu,” Ucap Wali Kota.

Lebih lanjut Wali Kota menyampaikan bahwa dua mobil sedan tersebut yang satu berjenis Toyota Camry Hybrid dan satu lagi Toyota New Vios. “Semuanya gratis. Kalau mau yang lain, saya masih ada mobil pribadi berjenis hardtop dan sedan VW. Silakan pilih,”Lanjut Wali Kota Maidi.

Tidak hanya itu, saya juga persilakan bagi yang ingin menggunakan rumah dinas walikota sebagai lokasi akad. Terutama, bagi warga yang rumahnya kecil. “Program yang saya mulai sejak tahun lalu ini diharapkan tidak hanya membantu masyarakat. Tapi juga mengantisipasi penularan Covid-19. Rumah dinas lokasinya luas. Sehingga, mudah untuk mengatur jarak. Dengan demikian, antisipasi penularan bisa dilakukan,”Terang Wali Kota Maidi.

Bagi yang berminat silakan mendaftar di Dinsos PPPA Kota Madiun. “Semuanya gratis. Kalau saya longgar, insya Allah saya hadir sebagai saksi.” Pungkas Wali Kota Maidi. (Yah/Gin).

Peliput : Yahya Ali Rahmawan

Penyunting : Agin Wijaya

Ponorogo – Portal Madiun Raya
Hari ini, Ahad (26/08), Bupati Ponorogo, Drs H Ipong Muchlissoni dan Hj Sri Wahyuni, merayakan HUT pernikahan mereka yang ke 25 tahun. Ulang tahun pernikahan yang ke 25 biasa disebut dengan ulang tahun perak.

Hal tersebut disampaikan oleh Hj Sri Wahyuni Ipong Muchlissoni melalui akun isntagramnya, @yuniipong, Ahad (26/08).

Melalui akun media sosial tersebut, Sri Wahyuni mengatakan bahwa dirinya bersyukur telah melewati 25 tahun bersama dengan sang Bupati yang juga pengusaha tersebut. “Alhamdulillah, hari ini 26 Agustus 2018, 25 tahun bersamamu sayang. Semoga Allah terus menjagakan kami. Banyak yang kita lewati. Banyak nikmat dan rezeki yang Allah SWT berikan. Rejeki 3 anak yang manis manis @mazayazhafarina @zatamahardika @dek.yogaa- dan mantu kami yang ganteng @aldhinoprima.” ucap akun @yuniipong.

Caleg DPR RI Partai Nasdem ini juga mengucap syukur atas kehadiran cucunya yang bernama Tasana Chalondra Benecia. Ia juga mengungkap arti nama cucunya tersebut. “Artinya si cantik dan pintar pembawa kebahagiaan,” jelas @yuniipong.

Diakhir postingan, @yuniipong menjelaskan bahwa dirinya bersama Bupati Ipong sudah menjadi yangpi dan omy, atau kakek dan nenek.

Selamat yaaa…(yah/gin)

DIY – Portal Madiun Raya
Dikutip dari berbagai sumber, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua. Mereka ingin merebut kembali Indonesia dan tak ingin negeri pendudukannya itu merdeka. Pertempuran ini berlangsung kurang lebih selama setengah bulan, hingga 5 Agustus.

Namun setelah itu, bukan berarti Indonesia betul-betul aman. Situasi masih genting dan para tentara dari kesatuan TNI terus berjaga-jaga. Salah satunya adalah Soeharto. Lelaki berpangkat Letnan Kolonel saat itu sedang sebagai komandan Brigade X Divisi III Yogyakarta.

Di tengah gentingnya suasana, pada malam di bulan Desember dia berkunjung ke keluarga Prawirowiharjo. Keluarga itu adalah kerabatnya sendiri, yaitu paman dan bibinya yang tinggal di Wuryantoro. Malam itu Soeharto datang ke Yogyakarta.

Dalam pertemuan itu, bibinya memulai percakapan. “Harto, saya mau bicara denganmu secara serius,” katanya. Mendengar itu, Soeharto langsung menyeret kursinya dan mendekat, “ Ya, Bu, apa yang ibu perlu.” Soeharto memang terbiasanya memanggilnya “ibu” karena menganggapnya seperti ibunya sendiri.

“Bukan saya yang perlu, Harto, tapi engkau. Sudah berumur 26 tahun, sudah cukup dewasa. Di kampungku usia tersebut sudah berumah tangga dan setidak-tidaknya sudah beranak satu. Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan kami pada kami. Saya pikir baiknya saya mencarikan isteri untukmu,”kata bibinya.

Mendapati permintaan bibinya, Soeharto menolak dulu. Karena dia masih sibuk menjalankan tugasnya di tengah gejolak konflik antara Belanda dengan Indonesia yang belum usai.

Sebagai tentara, dia berat menerima tawaran bibinya itu. “Ibu, saat ini kami sedang sibuk di Resimen. Perjuangan masih belum selesai, di mana-mana terjadi, sewaktu-waktu dapat terjadi serangan Belanda. Apakah tidak lebih baik nanti dulu? “Ia memohon.

“Berjuang ya berjuang, tapi perkawinan tak perlu terhalang karena itu. Sebaiknya kamu mengambil keputusan sekarang juga,”paksa bibinya.

“Baiklah, bu, andai kata saya sekarang menuruti nasehat ibu, saya tak kenal gadis yang bisa menjadi teman hidup saya. Siapa yang akan saya pinang? ”Soeharto akhirnya menuruti permintaan bibinya.

“Nah, kalau kamu sudah setuju, itu soal mudah. Kau sudah kenal gadis itu. Ingatkah kau pada Hartinah, yang duduk sekelas dengan adikmu Sulardi di sekolah rendah? ”Tanya bibinya sekali lagi.
“Ya saya ingat ….” Jawab Soeharto (OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto , 1976 dan Soeharto: dari Prajurit sampai Presiden, 1969).

Dalam buku lain, “Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku: Janur Kuning” (1980) karya Purnawan Tjondronegoro menceritakan bahwa setelah pertemuan itu, keluarga Prawirowiharjo mendatangi rumah perempuan yang akan mereka pinang untuk keponakannya itu. Mereka mengunjungi kediaman keluarga Soemoharyomo.

Tiba-tiba saja di tengah pertemuan itu, ibu Soemoharyomo mengatakan ke anak perempuannya, “Jadi Tien, bu Prawiro datang ke mari tiada lain untuk melamarmu! “Katanya kemudian,” Soeharto, keponakan ibu Prawiro adalah pemuda yang ingin mempersunting diri. Kini terserah kepadamu apakah Soeharto berkenan di hatimu … ”

Mendengar perkataan ibunya, Siti Hartinah diam dan hanya tersenyum malu-malu. Sebab perempuan aktif 24 tahun itu sudah tahu siapa Soeharto, yang tidak lain adalah kakak dari teman sekelasnya, Sulardi.

Dia juga sering mendengar nama pemuda itu dari teman-di. Intinya, Hartinah sudah tahu kalau pria yang melamarnya itu adalah seorang tentara.

Setelah kedua belah pihak setuju, akhirnya pernikahan mereka pun digelar di Solo, 26 Desember 1947.

Dan, dua minggu setelah menikah, Hartinah harus merelakan pergi sang suami. Keadaan masih memanas dan mau tak mau Soeharto sebagai kolonel Wajib mendatangi Front Ambarawa.

Hubungan pernikahan keduanya langgeng. Dari pernikahan itu kelak mengantarkan Hartinah sebagai “Ibu Negara Republik Indonesia Kedua” dan Soeharto menjadi Presiden RI ke dua serta memerintah hampir selama 32 tahun. (his/gin).

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.