DIY – Portal Madiun Raya
Dikutip dari berbagai sumber, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua. Mereka ingin merebut kembali Indonesia dan tak ingin negeri pendudukannya itu merdeka. Pertempuran ini berlangsung kurang lebih selama setengah bulan, hingga 5 Agustus.
Namun setelah itu, bukan berarti Indonesia betul-betul aman. Situasi masih genting dan para tentara dari kesatuan TNI terus berjaga-jaga. Salah satunya adalah Soeharto. Lelaki berpangkat Letnan Kolonel saat itu sedang sebagai komandan Brigade X Divisi III Yogyakarta.
Di tengah gentingnya suasana, pada malam di bulan Desember dia berkunjung ke keluarga Prawirowiharjo. Keluarga itu adalah kerabatnya sendiri, yaitu paman dan bibinya yang tinggal di Wuryantoro. Malam itu Soeharto datang ke Yogyakarta.
Dalam pertemuan itu, bibinya memulai percakapan. “Harto, saya mau bicara denganmu secara serius,” katanya. Mendengar itu, Soeharto langsung menyeret kursinya dan mendekat, “ Ya, Bu, apa yang ibu perlu.” Soeharto memang terbiasanya memanggilnya “ibu” karena menganggapnya seperti ibunya sendiri.
“Bukan saya yang perlu, Harto, tapi engkau. Sudah berumur 26 tahun, sudah cukup dewasa. Di kampungku usia tersebut sudah berumah tangga dan setidak-tidaknya sudah beranak satu. Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan kami pada kami. Saya pikir baiknya saya mencarikan isteri untukmu,”kata bibinya.
Mendapati permintaan bibinya, Soeharto menolak dulu. Karena dia masih sibuk menjalankan tugasnya di tengah gejolak konflik antara Belanda dengan Indonesia yang belum usai.
Sebagai tentara, dia berat menerima tawaran bibinya itu. “Ibu, saat ini kami sedang sibuk di Resimen. Perjuangan masih belum selesai, di mana-mana terjadi, sewaktu-waktu dapat terjadi serangan Belanda. Apakah tidak lebih baik nanti dulu? “Ia memohon.
“Berjuang ya berjuang, tapi perkawinan tak perlu terhalang karena itu. Sebaiknya kamu mengambil keputusan sekarang juga,”paksa bibinya.
“Baiklah, bu, andai kata saya sekarang menuruti nasehat ibu, saya tak kenal gadis yang bisa menjadi teman hidup saya. Siapa yang akan saya pinang? ”Soeharto akhirnya menuruti permintaan bibinya.
“Nah, kalau kamu sudah setuju, itu soal mudah. Kau sudah kenal gadis itu. Ingatkah kau pada Hartinah, yang duduk sekelas dengan adikmu Sulardi di sekolah rendah? ”Tanya bibinya sekali lagi.
“Ya saya ingat ….” Jawab Soeharto (OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto , 1976 dan Soeharto: dari Prajurit sampai Presiden, 1969).
Dalam buku lain, “Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku: Janur Kuning” (1980) karya Purnawan Tjondronegoro menceritakan bahwa setelah pertemuan itu, keluarga Prawirowiharjo mendatangi rumah perempuan yang akan mereka pinang untuk keponakannya itu. Mereka mengunjungi kediaman keluarga Soemoharyomo.
Tiba-tiba saja di tengah pertemuan itu, ibu Soemoharyomo mengatakan ke anak perempuannya, “Jadi Tien, bu Prawiro datang ke mari tiada lain untuk melamarmu! “Katanya kemudian,” Soeharto, keponakan ibu Prawiro adalah pemuda yang ingin mempersunting diri. Kini terserah kepadamu apakah Soeharto berkenan di hatimu … ”
Mendengar perkataan ibunya, Siti Hartinah diam dan hanya tersenyum malu-malu. Sebab perempuan aktif 24 tahun itu sudah tahu siapa Soeharto, yang tidak lain adalah kakak dari teman sekelasnya, Sulardi.
Dia juga sering mendengar nama pemuda itu dari teman-di. Intinya, Hartinah sudah tahu kalau pria yang melamarnya itu adalah seorang tentara.
Setelah kedua belah pihak setuju, akhirnya pernikahan mereka pun digelar di Solo, 26 Desember 1947.
Dan, dua minggu setelah menikah, Hartinah harus merelakan pergi sang suami. Keadaan masih memanas dan mau tak mau Soeharto sebagai kolonel Wajib mendatangi Front Ambarawa.
Hubungan pernikahan keduanya langgeng. Dari pernikahan itu kelak mengantarkan Hartinah sebagai “Ibu Negara Republik Indonesia Kedua” dan Soeharto menjadi Presiden RI ke dua serta memerintah hampir selama 32 tahun. (his/gin).