Saat kita belajar budaya dan sejarah daerah di Indonesia, tentunya kita mengenal adanya kasta dalam kehidupan di Pulau Bali.
Namun menurut I Nengah Arnaya, S.Ag, tidak ada pemisahan kasta dalam kehidupan sehari-hari di Pulau Dewata, julukan Bali.
“Terkait eksistensi kasta di Bali jika merunut dalam sejarah yang ada merupakan produk penjajah Belanda yang tujuan utamanya adalah memecah belah warga Bali agar tidak bisa bersatu, namanya devide et impera atau adu domba,” Ucap Bli Arnaya, panggilan akrabnya, Sabtu (23/01/2022).
Di Bali, lanjut Bli Arnaya, tidak hanya perbedaan kasta namun oleh Belanda juga dipecah menjadi 8 kerajaan, “Diantaranya Kerajaan Klungkung, Gianyar, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Gelgel, Buleleng dan Bedulu, sehingga masyarakat Bali menjadi terkotak-kotak dan gampang diadu domba. Dan itu tidak hanya di Bali, namun diseluruh Nusantara yang diadu domba antar sesama anak bangsa agar mudah dikuasai,”Urainya.
Tentang Kasta, Bli Arnaya menjelaskan bahwa yang benar adalah perbedaan warna memiliki Tugas, Pokok dan Fungsi yang berbeda. “Warna disini yaitu ilmu pengetahuan yang dikuasai sehingga menjadi ahli. Bagi yang menguasai Ilmu spiritual ke Theologian atau Ketuhanan maka diberikan warna Brahmana (Ilmu dibidang spiritual). Untuk warna Ksatria adalah orang yang ahli dibidang Pemerintahan dan Ketatanegaraan, seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah dan lainnya,”Terang Bli Arnaya.
Sementara Warna Weisha merupakan orang yang ahli dalam Ilmu ekonomi dan perdagangan. “Kemudian Warna Sudra berasal dari kata Su yang artinya Baik dan Dra yang artinya Pelayan. Jadi warna Sudra memiliki pengertian Pelayan yang baik yaitu menguasai ilmu ketenagakerjaan dan Buruh. Ahli disini bisa diartikan seseorang yang Kerja keras, ikhlas, cerdas dan tuntas sehingga mampu memberikan pelayanan kepada tamu yang hadir ke Bali,”Jelasnya.
Sehingga, perbedaan warna disini menurut Bli Arnaya adalah saling melengkapi. “Perbedaan antara Manusia adalah karena keahlian dan tupoksinya masing-masing,”tambahnya.
Tentang pernikahan, Bli Arnaya menegaskan bahwa tidak ada batasan antara Warna Brahmana, Satriya, Weisha maupun Sudra. “Selama sesuai dengan sastra dan kitab suci serta berdasarkan cinta sesama maka diperbolehkan menikah,” Ucap Bli Arnaya.
Waktu itu, Bli Arnaya melanjutkan bahwa Belanda memecah belah di Bali dengan membuat wangsa Brahmana menjadi kelompok tertinggi. “Wangsa Satriya juga diberikan kedudukan dan jabatan yang tinggi, sementara wangsa njaba menjadi wangsa rendah dan menjadi pekerja rodi, sehingga terjadi kecemburuan sosial. Namun sejak tahun 1951 tradisi itu diubah karena tidak sesuai dengan sastra dan kitab suci,” ujarnya.
Soal toleransi beragama, Bli Arnaya menyampaikan bahwa di Bali, toleransi kehidupan beragama tidak hanya dalam wacana, tetapi sudah mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
“Saat ada Bom Bali, tidak ada yang menyalahkan agama tertentu, tetapi adalah oknum. Setelah kejadian Bom Bali, semua tokoh agama duduk bersama dan berkumpul mencari solusi serta berfikir universal bahwa Bali merupakan daerah wisata yang harus dikunjungi oleh para tamu, jika tidak ada tamu maka yang rugi adalah seluruh Bali. Sampai dengan saat ini, siapapun yang datang ke Bali kita sambut dengan baik. Siapapun yang mencari rezeki di Bali dipersilahkan namun dengan tetap menjaga Bali sesuai dengan tradisi yang ada.”Pungkas Bli Arnaya. (yah/gin).
Peliput : Yahya Ali Rahmawan
Penyunting : Agin Wijaya